Karawitan adalah seni suara daerah baik vokal atau instrumental yang mempunyai klarifikasi dan perkembangan dari daerahnya itu sendiri. Karawitan di bagi 3, yaitu :
- Karawitan Sekar,
- Karawitan Gending,
- Karawitan Sekar Gending.
Sebelum merambah pada penjelasan pembagian tiga jenis karawitan ini,
perlu diketahui bahwa deskripsi karawitan berikut ini lebih difokuskan
pada Karawitan Sunda.
Karawitan Sekar
Karawitan Sekar merupakan salah satu bentuk kesenian yang dalam
penyajiannya lebih mengutamakan terhadap unsur vokal atau suara manusia.
Karawitan sekar sangat mementingkan unsur vokal.
Karawitan Gending
Karawitan Gending merupakan salah satu bentuk kesenian yang dalam
penyajiannya lebih mengutamakan unsur instrumental atau alat musik.
KARAWITAN VOKAL/SEKARAN
Pengertian
Yang dimksud dengan karawitan vokal atau lebih dikenal dalam
karawitan Sunda dengan istilah Sekar ialah seni suara yang dalam
substansi dasarnya mempergunakan suara manusia. Tentu saja dalam
penampilannya akan berbeda dengan bicara biasa yang juga mempergunakan
suara manusia. Sekar merupakan pengolahan yang khusus untuk menimbulkan
rasa seni yang sangat erat berhubungan langsung dengan indra
pendengaran. Dia sangat erat bersentuhan dengan nada, bunyi atau
alat-alat pendukung lainnya yang selalu akrab bertdampingan
Pada kehidupan orang Sunda pada masa lalau sejak mereka lahir secara
tidak langsung telah didekatkan dengan alunan sekar. Sejak mereka lahir
sang ibu menimang, meninabobokan dengan menggunakan sekar. Dalam
mengajak bermain, dalam tahap-tahap mulai belajar bicara, belajar
berjalan, sekar sangat sering didengarkan oleh orang tua atau
pengasuhnya. Itulah sebabnya lagu-lagu dalam meninabobokan atau ngayun
ngambing anak selalu populer dari masa ke masa, dalam arti
kelestariannya terlihat karena selalu dilakukan dari generasi ke
generasi.
Seperti telah diterangkan di atas, sekar mempunyai kedudukan yang
tersendiri dalam kehidupan karawitan, walaupun pada dasarnya sekar
berbeda dengan bicara biasa, sekar sangat dekat bahkan terkadang sangat
dominant dengan lagam bicara atau dialek. Dialek Cianjur, Garut, Ciamis,
Majalengka dalam mengungkapkan percakapan seringkali seolah-olah
bermelodi seperti bernyanyi. Oleh karena kesan dialek yang sangat erat
itulah kiranya banyak orang luar daerah Sunda yang secara tidak langsung
menyebutkan bahwa cara bicara orang Sunda seperti bernyanyi. Memang
erat dengan penggunaan kata-kata di dalamnya tetapi kata-kata dalam
sekar telah diolah sedemikian rupa sehingga berbentuklah penampilan
secara utuh menjadi sebuah komposisi lagu. Dengan demikian, jelaslah
bahwa kata dalam kedudukan sekar merupakan salah satu alat pengungkap
masalah atau tema yang diketengahkan. Kata yang sama dapat diungkapkan
dalam berbagai lagu/melodi, menurut kehendak rasa seni si pencipta itu
sendiri. Akan tetapi tanpa disadari bahwa terkadang dalam kehidupan
sekar tidak selalu dipergunakan kata secara utuh, sering terdengar suara
bunyi dijadikan lagu. Hal ini sering terjadi dalam lagu-lagu tertentu,
misalnya hanya mempergunakan bunyi a saja atau nang neng nong atau hm
dan lain-lain. Penggunaan kata yang tidak jelas sering didapati apabila
bersenandung atau ngahariring/hariring.
Dari kesimpulan itu, dapatlah ditarik beberapa hal yang sangat erat
bertalian dengan sekar, yaitu: Lagam bicara dialek adalah khas daerah
tertentu dalam berbicara sehari-hari yang dari ungkapannya dapat kita
tarik satu garis melodi yang sangat erat bertalian dengan nada. Contoh
dapat ditemukan dalam kata Punten, Masya Allah di daerah Cianjur. Khusus
untuk lagam bicara ini dalam gending karesmen, sering ditemukan teknik
bernyanyi dan lagu yang dipergunakan dalam dialog yang secara utuh
mempergunakan lagam bicara. Hanya dalam pengungkapannya dilakukan lagam
bicara. Jadi, dia berbicara dalam nada. Sifatnya kebanyakan datar atau
melengking tinggi. Lagu yang demikian dikenal dengan sebutan sekar
biantara (nyanyian bicara). Dalam pergelaran wayang golek sangat terasa
sekali dalam memerankan/antawacana tokoh-tokoh tertentu yang selalu
mempergunakan lagu bicara, sangat terasa pula dalam nyandra.
Contoh kata-kata yang sangat lekat dengan lagu dalam lagam bicara antara lain:
a) Pun……ten
b) Sorangan bae yeuh…….!
c) Tunjuk-tunjuk hey, sakali deui…hey!
Dalam pergelaran wayang golek, hal ini akan terasa pada tokoh Semar, misalnya pada biantara di bawah ini:
Aduh aduh ngeran
Sumangga ieu abdi lurah Semar Kudapawana nyanggakeun sembah pangbakti
Ageung alit kalepatan mugia ngahapunten, Ngeran……..
Beberapa sebutan yang berkaitan dengan sekaran
1.1. Ngahariring (Senandung)
Sifat dari ngahariring biasanya dibawakan secara halus sekali,
pemakaian kata dalam lagu lebih menonjol kata bunyi. Pengertian halus
disini lain sekali dengan dinamika lagu. Halus dalam membawakan hariring
adalah makna dari sikap yang cenderung bernyanyi untuk diri sendiri.
Ngahariring dalam kehidupan sehari-hari sangat erat hubungannya dengan
pengisi jiwa sambil bekerja. Ngahariring dapat bersifat improvisasi
ataupun lagu yang telah ada. Kata bekerja lain dari ngaharirirng adalah
bersenandung dengan volume suara yang halus, lunak agar penampilannya
itu tidak berisik sehingga mengganggu orang lain. Sering pula hal ini
terjadi bila seseorang sedang mempelajari lagu yang belum dikuasai.
Suasana ngahariring timbul lebih cenderung dalam keadaan gembira sambil
bekerja. Dalam penampilannya, ngahariring dapat saja menjadi lain, hal
ini tergantung dari kalimat yang dipergunakan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ngahariring adalah bernyanyi
hanya ungkapannya lebih dalam untuk diri sendiri atau dengan kata lain
kesannya lebih subjektif.
1.2. Ngahaleuang
Pada dasarnya ngahaleuang berarti bernyanyi. Haleuang berarti
nyanyian/sekar. Kalau dilihat dari sifat penyajiannya ngahaleuang terasa
lebih terbuka, lebih keluar dan lantang. Jadi, pengaruh terhadap
surupan itu sendiri sangat kuat sekali. Lagu-lagu Tembang sangat jarang
ditafsirkan sebagai ngahaleuang. Dilihat dari tempo lagu, biasanya
istilah ngahaleuang banyak mempergunakan tempo sedang.
1.3. Galindeng
Kata Galindeng erat sekali dengan sekar, bahkan sering sekali
menunjukan arti suara dari seorang penyanyi yang biasanya lebih tepat
pada suara-suara yang empuk, halus. Ngagalindeng artinya suara
(nyanyian) yang dibawakan secara penuh perasaan, terutama pada
suara-suara (bagian melodi) yang penuh dengan mamanis
(kembangan-kembangan)
1.4. Babaung
Penempatan kata babaung adalah tahap kata yang kasar untuk bernyanyi.
Biasanya kalau suaranya tidak enak atau membetulkan agar nyanyiannya
dilakukan yang benar. Itu pun terbatas pada kelakar atau sindiran
tertentu saja, dilakukan pada orang yang lebih muda atau sesama yang
sudah akrab.
1.5. Kakawihan dan Tetembangan
Walaupun pada dasarnya Tembang dan Kawih berbeda lagam, pengertian
kakawihan dan tetembangan mempunyai arti yang sama. Kakawihan atau
Tetembangan ialah menyanyikan lagu dengan cara-cara seenaknya, cenderung
mengisi suasana untuk diri sendiri. Sebagai contoh ketika sedang mandi,
sedang berdandan, melakukan pekerjaan dan lain-lain. Lagunya yang telah
hapal atau sering pula diberi improvisasi-improvisasi spontan.
Pembagian Sekar Menurut Bentuk
Menurut bentuk ditinjau dari penggunaan irama, karawitan sekar dibagi
dua bagian besar yaitu : Sekar Irama Merdeka (bebas irama) dan Sekar
Tandak (ajeg, tetap)
2.1. Sekar Irama Merdeka
Yang dimaksud dengan sekar irama merdeka ialah sekar (vokal,
nyanyian) yang dalam membawakan lagunya tidak terikat oleh irama.
Panjang pendeknya dalam membawakan lagu, terutama pada bagian-bagian
frase lagu (kenongan, goongan) bebas menurut keinginan juru sekar itu
sendiri. Walaupun demikian, bukan berarti bahwa kebebasan itu bisa
berlanjut panjang tanpa ketukan sama sekali, ketukan masih tetap ada,
hanya sifatnya semu yang bersatu dalam ungkapan perasaan pada waktu
membawakan lagunya. Para tokoh tembang lebih cenderung menyebutnya
dengan istilah wirahma.
Lagu-lagu yang dibawakan sekar irama merdeka biasanya bersifat lagu
anggana (solo) dengan melodi lagu yang masih bisa dikembangkan oleh
pribadi-pribadi penyanyi terutama dalam menghias mamanis-mamanisnya.
Mamanis-mamanis itu akan terasa pada senggol-senggol atau pedotan
kenongan dan goongan lagu. Dikenal beberapa istilah seperti : Leot,
Cacag, Galasar, Reureueus, Gedag dan lain-lain.
Materi-materi sekar yang terdapat pada kelompok sekar irama merdeka antara lain: Tembang, Beluk, Kakawen.
2.1.1. Tembang
Tembang Sunda sangat populer sekali dalam masyarakat Sunda. Tembang
Sunda dikenal sebagai musik kamar (kamermuziek). Cirri khas dalam
iringan tembang Sunda adalah iringan kacapi sulingnya. Pada awalnya
Tembang Sunda hidup dalam lingkungan menak-menak (elite). Isi ungkapan
yang diketengahkan dalam tembang Sunda antara lain tentang:
a. Sanjungan terhadap leluhur, terutama pada kejayaan dan “tilemnya” kerajaan Pajajaran
b. Keindahan-Keindahan alam Priangan
c. Ungkapan percintaan. Tema percintaan yang diketengahkan banyak
gambaran tentang seseorang yang jatuh cinta atau merasa sakit hati
karena dikhianati cintanya.
Tembang sangat erat bersentuhan dengan kesusatraan. Satu hal yang
paling menojol adalah Pupuh. Ada beberapa pendapat bahwa kehadiran dan
perkembangan tembang banyak tali-temalinya dengan pengaruh pupuh yang
masuk pada jaman Mataram dahulu. Walaupun demikian, banyak pula yang
tidak mempergunakan pupuh sebagai “ugeran” (patokan) untuk rumpakanya
(syair lagu), yaitu dengan mempergunakan bentuk papantunan. Bahkan pada
perkembangan sekarang, tidak menutup kemungkinan menggunakan sajak-sajak
bebas. Dari kekebasan penggunaan rumpaka atau iringan, terbetiklah
bentuk lain yang lebih bersifat style (gaya), diantaranya dikenal dengan
nama-nama: Papantunan, Jejemplangan, Rarancagan. Sedangkan lagam-lagam
dari Tembang Sunda diketahu ada Lagam Cianjura, Ciawian, Cigawiran,
Garutan, Sumedangan.
Memang demikianlah bahwa nama daerah itu akhirnya yang menjadi nama
dari lagam-lagam itu. Kalau kita lihat dari penyajian karawitan memang
terdapat kebedaan-kebedaan yang cukup menyolok. Misalnya saja antara
bentuk Cianjuran dan Ciawian. Perbedaannya banyak pula dipengaruhi oleh
penggunaan laras. Cianjuran kebanyakan berlaras pelog, sedangkan Ciawian
banyak mempergunakan laras salendro. Hal lain banyak terletak pada
interpretasi ungkapan lagu. Sekaligus membedakan dalam menempatkan
unsure-unsur mamanis didalamnya.
Kalau masyarakat luas lebih banyak mengenal Tembang Cianjuran
tentunya bukan berpijak pada nilai-nilai yang terkandung dalam kedua
lagam itu, tetapi dari histories penyebarannya, lagam Cianjuran ternyata
lebih meluas. Sampai-sampai ada keinginan untuk menyebut tembang Sunda
itu sebagai tembang Cianjuran saja.
Beberapa nama lagu dalam Tembang Sunda: Papatet, Mupu Kembang,
Jemplang Titi, Liwung, Asmarandana Degung, Jemplang Karang dan
lain-lain.
Dalam sekar tembang Sunda Cianjuran, yang menjadi ciri utamanya
adalah ornamentasi atau dongkari. Dongkari adalah teknik menghasilkan
suara yang diolah dengan cara tertentu guna memberikan mamanis pada
lagu. Dalam praktik vokal tembang Sunda Cianjuran, kedudukan dongkari
sangat penting karena merupakan dasar utama bagi vokal tembang Sunda
Cianjuran. Oleh sebab itu, materi ini perlu diberikan terlebih dahulu
sebagai dasar pijakannya. Apabila semua dongkari ini sudah dapat
dikuasai dengan baik, maka untuk mempelajari lagu-lagu selanjutnya tidak
akan sukar. Sekurang-kurangnya, dongkari dalam vokal tembang Sunda
Cianjuran terdiri dari 17 macam yaitu: riak, reureueus, gibeg, kait,
inghak, jekluk, rante/beulit, lapis, gedag, leot, buntut, cacag,
baledog, kedet, dorong, galasar, dan golosor. Untuk lebih jelasnya,
ketujuh belas dongkari tersebut adalah sebagai berikut.
2.1.1.1. Riak
Menurut Kamus Umum Basa Sunda, riak artinya nimbulkeun cahaya nu siga
ombak-ombakan (menimbulkan cahaya seperti gelombang). Sedangkan menurut
Bakang Abubakar, istilah riak sama dengan istilah ombak banyu yang
artinya gelombang air (Sarinah l994:121). Adapun teknik penyuaraan
dongkari riak yaitu mengeluarkan getaran suara pada nada yang tetap yang
menyerupai gelombang air. Getaran suara dikeluarkan tanpa tekanan,
tetapi secara halus tanpa terputus. Contoh: 5 artinya nada 5 (la)
dibunyikan dengan halus tanpa terputus menyerupai gelombang air. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada lagu Papatet baris pertama, yaitu:
5 . 5 . 5 5 . 5 54 5 . 5451 2
Pa- ja - jaran ka-ri nga- ran
2.1.1.2. Reureueus
Reureueus pada umumnya digunakan oleh para penembang untuk menamakan
semua jenis dongkari dalam tembang Sunda Cianjuran. Namun demikian
istilah reureueus yang digunakan Euis Komariah memiliki pengertian yang
berbeda. Reureueus adalah salah satu macam dongkari yang pada prinsipnya
sama dengan riak. Sedikit yang membedakannya yaitu teknik penyuaraan
pada dongkari riak tidak mendapat tekanan, sedangkan teknik penyuaraan
reureueus yaitu getaran suara yang dikeluarkan pada nada yang tetap
mendapat tekanan. Contoh: 5, dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
lagu Papatet baris kedua, contoh:
2 15 5 . 5554 3451 2 15 5 22 2 . 2 15
Pangra- ngo geus narik ko- lo - t
2.1.2.3. Gibeg
Gibeg menurut Kamus Umum Basa Sunda artinya yaitu ngobahkeun awak ka
gigir make tanaga sarta rikat (menggerakkan badan ke samping dengan
gerak cepat). Teknik penyuaraan dongkari gibeg yaitu mengeluarkan suara
pada nada yang tetap disertai tekanan, dan dilakukan dengan gerak cepat
seolah-olah digibegkeun. Sebagai contoh dapat dilihat pada frase pembuka
lagu wanda papantunan, sebagai berikut:
03- 2 2 2 . 1212 2 222 1212 23 . 3 34 3 5
Daweu - eung diajar lu- deu- ng
2.1.2.4. Kait
Kait artinya sama dengan nyangkol yaitu menempel keras karena lilitan
tali. Dalam istilah dongkari tembang Sunda Cianjuran, istilah kait
mengandung pengertian yaitu gabungan dua buah nada dari nada tinggi ke
nada rendah di mana nada pertama dongkari kait menempel/sama dengan nada
sebelumnya, kemudian diikuti oleh satu nada yang lebih rendah. Teknik
penyuaraannya yaitu bunyi terakhir dari suku kata yang akan diikuti oleh
dongkari kait, dibunyikan kembali sebagai jembatan untuk membunyikan
suku kata berikutnya. Sebagai contoh dapat dilihat pada frase pembuka
lagu wanda papantunan, yaitu:
03- 2 2 2 . 1212 2 222 1212 23 . 3 34 3 5
Daweu - eung diajar lu- deu- ng
2.1.1.5. Inghak
Istilah inghak diambil dari peristiwa menangis yang diterapkan pada
dongkari tembang Sunda Cianjuran. Teknik penyuaraannya yaitu pada waktu
membunyikan suku kata yang mengandung vokal huruf hidup (a, i, u, e, o),
udara sedikit dikeluarkan dengan diberi tekanan sehingga menghasilkan
suara yang bunyinya seperti /h/. Diusahakan posisi bibir tidak bergerak
saat mengeluarkan udara. Contoh:
03- 2 2 2 . 1212 2 222 1212 23 . 3 34 3 5
Daweu - eung diajar lu- deu- ng
2.1.1.6. Jekluk
Dongkari jekluk yaitu gabungan dua buah nada dari nada rendah ke nada
tinggi. Misalnya dari nada 1 ke 5, 4 ke 3. Sebelum membunyikan dongkari
jekluk, senantiasa diawali oleh nada yang lebih rendah. Misalnya dari
nada 1 ke nada 5, senantiasa diawali dengan nada 2. Dari nada 4 ke nada
3, senantiasa diawali dengan nada 5. Teknik penyuaraan dongkari jekluk
harus menggunakan tenaga perut. Contoh, pada lagu Papatet, baris kedua.
02 15 5 . 5554 3451 2 15 5 22 2 . 2 15 .
Pangra- ngo geus narik ko- lo - t
2.2.1.7. Rante/beulit
Dongkari rante/beulit yaitu gabungan dua buah nada atau lebih yang
disuarakan dengan cara mengulang nada-nada tersebut sehingga
menghasilkan suara yang bila digambarkan menyerupai bentuk spiral atau
rante. Contoh dongkari rante/beulit ini bisa dilihat pada lagu Mupu
Kembang yang dibawakan oleh A. Tjitjah pada baris kelima, sebagai
beriku:
02 15 5 . 4545 4 51 . 2 2 15 5 2 2 2 321
Nya cada - s cada - s ha -re- ra- ng
2.1.1.8. Lapis
Dongkari lapis yaitu penyuaraan satu buah nada yang mengikuti nada
sebelumnya. dongkari lapis ini seolah-olah mengulang lagi nada yang
sudah dibunyikan oleh dongkari lain. Sebagai contoh bisa dilihat pada
lagu Mupu Kembang baris kedua yang dibawakan oleh Euis Komariah, sebagai
berikut:
03- 2 2 2 . 1 2 2 2 21 2 . 2 15 0
Angkat ba- ri re- rendenga - n
2.1.1.9. Gedag
Dongkari gedag yaitu menyuarakan satu nada yang tetap dengan mendapat
tekanan. Nada tersebut seolah-olah disuarakan dua kali (diulang).
Penempatan dongkari gedag senantiasa di awal kata. Sebagai contoh bisa
dilihat pada lagu Mupu Kembang baris pertama yang dibawakan oleh Euis
Komariah, yaitu
02 2 . 2 2 . 2 2 2 . 12 0
Payung hiji ku dua - an
2.1.1.10. Leot
Dongkari leot yaitu gabungan dua buah nada, dari nada tinggi ke nada
rendah misalnya dari nada 5 (la) ke nada 1 (da), nada 2 (mi) ke 3 (na),
dan seterusnya. Contoh pada lagu Mupu Kembang baris pertama yaitu:
02 2 . 2 2 . 2 2 2 . 1 2 .
Payung hiji ku dua - an
2.1.1.11. Buntut
Dongkari buntut pada prinsipnya sama dengan dongkari lapis.
Perbedaannya terletak pada penempatannya. Kalau dongkari lapis
diletakkan di tengah kata dan senantiasa diikuti lagi dengan dongkari
lainnya, sedangkan buntut ditempatkan di akhir kata atau kalimat lagu
(frase lagu) dan diikuti oleh satu nada yang lebih tinggi. Contoh bisa
dilihat pada lagu Mupu Kembang baris keempat dan kelima, sebagai
berikut:
03- 2 2 . . 2 2 2 1212 2 1 . 5 5 . 54
Nya keusik - keusik ba-re - n-ti - k
02 15 5 . 5554 3451 2 2 15 5 2 2 2 . 21
Nya ca-da - s cada - s hare - ra - ng
2.1.1.12. Cacag
Dongkari cacag yaitu penyuaraan satu buah nada dengan teknik
memberikan tekanan pada nada tersebut secara berulang-ulang dan tidak
terputus-putus. Contoh dongkari cacag bisa dilihat pada lagu Jemplang
Panganten baris ketujuh.
01 1 222 15 . 3 3 3 3454 23 3454
Kieu ka-ja-di-an- na - na
2.1.1.13. Baledog
Dongkari baledog yaitu gabungan dua buah nada yang disuarakan tanpa
tekanan. Dongkari ini senantiasa ditempatkan mengikuti dongkari lainnya
seperti gibeg dan gedag. Sebagai contoh bisa didengar pada lagu Mupu
Kembang baris kedua, dan Randegan baris kedua yang dibawakan oleh Euis
Komariah.
03- 2 2 2 1 2 2 2 212 . 2 15 0
Angkat ba- ri re- rendenga - n
0 3- 2 . 2 1 2 12 . 2 15 0 03-3- 2 3-2 . 2 1
Me -la-------k bako di ba - si - sir
2.1.1.14. Kedet
Dongkari kedet senantiasa ditempatkan di akhir kalimat lagu yang
berfungsi untuk madakeun (mengakhiri) lagu. Dongkari ini biasa digunakan
dalam lagu wanda jejemplangan. Sebagai contoh bisa dilihat pada frase
lagu pembuka wanda jejemplangan berikut ini:
04 4 .4 4 4 34543454 32 . 2 23 . 5
birit leuwi peu - peunta - san
2.1.1.15. Dorong
Dongkari dorong pada dasarnya merupakan dinamika dari suara yang
tidak mendapat tekanan menuju nada berikutnya dengan mendapat tekanan.
Biasanya dongkari dorong selalu diikuti oleh reureueus. Untuk lebih
jelasnya bisa dilihat pada lagu Jemplang Panganten baris kedua sebagai
berikut:
2 2 2 . 1 2222 15 0
Linta ----------------- ng salira anjeunna
Atau bisa juga dilihat pada lagu Jemplang Cidadap baris kelima sebagai berikut:
02 2 2 2 . 1 2222 15 0
Dirungsi -----------------ng
2.1.1.16. Galasar
Dongkari galasar yaitu gabungan dua atau tiga buah nada yang
disuarakan seperti diayun, tanpa terputus, dan mendapat tekanan. Sebagai
contoh dapat dilihat pada lagu Jemplang Cidadap baris pertama berikut
ini:
4 3 3 3 3333 32 0 3 3454 23 3 3454 4
Alap-ala----------p nyorang tuna
Contoh lain dapat dilihat pada lagu-lagu wanda papantunan, misalnya pada frase pembuka lagu-lagu wanda papantunan berikut ini:
03- 2 2 2 . 1212 2 222 1212 23 . 3 34 3 5
Daweu --------------------ng diajar lu- deu- ng
2.1.1.17. Golosor
Dongkari golosor yaitu gabungan beberapa nada dengan teknik
penyuaraan tanpa tekanan. Wilayah nadanya yaitu dari nada tinggi menuju
ke nada rendah. Sebagai contoh bisa dilihat pada lagu Rajamantri baris
keenam, yaitu:
3 .2 34545 5
Hanja------kal saumur-umur
Contoh tulisan Lagu Tembang :
2.1.2. Beluk
Karawitan sekar beluk ini sudah langka sekali. Beluk lebih dikenal
pada upacara selamatan 40 hari bagi bayi yang baru dilahirkan. Beluk
sangat erat dengan pergelaran nembang wawacan. Memang pada dasarnya
kesenian beluk hanya menembangkan cerita dalam wawacan yang tersusun
ceritanya dalam bentuk puisi terutama pupuh. Wawacan adalah cerita yang
disusun menggunakan pupuh dengan maksud untuk dinyanyikan atau
didangdingkeun.
Teknik penyajian beluk dibantu oleh juru ilo. Juru ilo dalah orang
yang membacakan cerita dalam bentuk prosa (membaca biasa) yang ditujukan
kepada penembang beluk untuk bahan kata-kata yang akan dinyanyikannya.
Secara spontan dan penuh variasi, juru beluk menyanyikan kata-kata itu.
Frekwensi nada yang digunakan adalah nada yang tinggi sehiingga semakin
mahir bermain lagu dalam nada-nada yang tinggii makin tinggilah
kemampuan ki juru beluk itu.
Teknik bersuara banyak mempergunakan nasal hidung (sengau). Kata-kata
yang dinyanyikan sebenarnya kurang begitu jelas terucapkan karena yang
lebih penting bagi pendengar adalah teknik-teknik bernyanyinya itu
sendiri. Kalau mereka ingin tahu tentang kata-katanya, sebelum
dinyanyikan telah disebutkan secara jelas oleh juru ilo.
Beluk sudah dianggap sebagai kesenian buhun (kolot, tua, lama).
Penggunaan sekar irama merdekanya memberikan cirri yang tersendiri dari
bentuk kesenian rakyat sebab kebanyakan lagu-lagu rakyat Pasundan banyak
mempergunakan irama tandak (terikat)
Kalau dilihat dari penyajiannya, dimana ada unsur cerita yang
dinyanyikan, maka mungkin sekali dasar-dasar “gending karesmen” di dalam
karawitan Sunda banyak berpijak dari perkembangan beluk dengan nembang
wawacannya.
2.1.3. Kakawen
kakawen lebih dikenal sebagai nyanyian ki dalang pada waktu
pergelaran wayang. Isi kakawen antara lain banyak mengisahkan tentang
pergantian babak cerita, karakter tokoh wayang, kemarahan-kemarahan,
kedatangan tamu dan kekuatan tokoh wayang dalam mengunggulkan dirinya,
misalnya pada ajimat-ajimatnya atau kekuatan lainnya. Pada dasarnya
kakawen banyak mempergunakan irama bebas merdeka. Hanya pada
bagian-bagian tertentu sajalah terdapat bentuk yang tandak. Inipun masih
tidak utuh sebab perpaduan panjang pendeknya lagu masih tergantung
kepada ki juru dalang itu sendiri.
Pengaruh kakawen masuk pula secara utuh pada Tembang Sunda lagam
Cianjuran. Hanya namanya sudah bukan kakawen lagi melainkan dengan nama
sebrakan. Sebrakan ini dinyanyikan setelah lagu dalam laras pelog dan
sorog/madenda telah selesai atau disajikan secara khusus.
Motif-motif sekar irama merdeka pada pergelaran wayang digunakan pula
oleh beberapa tokoh wayang tertentu yang dalam bicaranya dibawakan
dengan lagu, seperti untuk tokoh Semar, Rahwana, Dursasana (patet yang
digunakan patet Nem), Sangkuni, Togog, Narada (patet yang digunakan
patet Manyura). Hal seperti ini disebut antawacana berlagu.
Dalam penyajiannya, kakawen dapat dibeda-bedakan menjadi
a. Murwa
Adalah sekaran permulaan yang dibawakan dalang dengan rumpaka/bahasa Kawi atau pujangga. (Kakawi-an menjadi Kakawen)
Pada prakteknya Murwa terbagi atas
(1) Murwa Umum
Murwa yang dapat dipergunakan untuk bermacam-macam adegan/jejeran, seperti:
Dene utamaning nata
Berbudi bawa laksana
Lire berbudi mangkana
Lela legawa ing dria
Agung denya paring dana
Anggeganjar saban dina
Lire kang bawa laksana
Anatepi pangandika
(2) Murwa Khusus
Murwa yang hanya digunakan khusus untuk suatu adegan/jejeran. Contohnya:
Lengleng ramya nikang, sasangka kum,enyar mangrenge rumning puri
Mangkin tanpa siring, haleb nikang umah, mas lwir nurub ing langit.
Tekwan sarwa manik, tawingnya sinawung sasat sekar sinuji
Ungwan Banowati ywuna amren lalangen nwang nata Duryudana
b. Nyandra
Prolog dalang yang menggambarkan situasi/keadaan sifat, watak, tata
hidup dan kehidupan raja dan masyarakatnya dengan segala yang digarapnya
dan sebagainya, contoh:
Sri Nalendra ajujuluk ………(.nama raja yang bersangkutan dari suatu Negara)
Mila kinarya bubukaning carita
Jalaran nagri panjang punjung
Pasirwukir loh jinawi
Gemah ripah kerta raharja
c. Renggan
Sekaran dengan rumpaka yang bertemakan gambaran suatu keadaan yang
sedang dihadapi agar lebih jelas dan lebih indah didengar, contoh:
Kayu Agung babar wite
Samia rembel gogonge samia rogol yan pangrange
Sekar mekar ing galihe pandele si pandan arum
d. Sendon
Sekaran yang mempergunakan rumpaka untuk menggambarkan adegan sedih/kesedihan, contoh:
Rebeng rebeng cinanda layan kaherin
Wis pinandak perlambange
Perlambang simungkumi
2.2. Sekar Tandak
Sekar tandak ialah nyanyian yang terikat oleh ketentuan-ketentuan
ketukan dan matra (wiletan, gatra). Dari ikatan ketukan dan matra-matra
banyak berdampingan dengan irama lagu yang dipergunakan.
Peraturan-peraturan itu sudah merupakan kaidah tersendiri dari bentuk
paduan tandak di antara sekar dan gending. Adapun lagu-lagu dalam ragam
sekar tandak dapat kita ketahui sebagai berikut.
(1) Sindenan
Kata Sindenan lebih dikenal pada pergelaran wayang dan kiliningan.
Disebut sindenan karena yang membawakannya biasa disebut sinden
(waranggana, penyanyi wanita). Lagu-lagu yang dibawakan banyak
berpangkal pada bentuk klasik dan tradisional. Walaupun demikian,
kreasi-kreasi baru banyak pula dibawakan walaupun dalam beberapa hal
telah sedikit berubah warnanya. Perubahan itu sebenarnya banyak
dipengaruhi oleh teknik warna suara yang telah khas pada tiap pesinden.
Kebanyakan lagu-lagu sinden adalah lagu anggana. Kalau ada beberapa yang
bersifat rampak biasanya bersifat kreasi saja. Dalam beberapa
penampilan tertentu sindenan mempunyai lagam daerah tersendiri. Lagam
itu lebih cenderung disebut pula sebagai gaya (style). Ada dua bagian
besar gaya dalam kepesindenan, yaitu: gaya Priangan dan gaya Kaleran.
Yang dimaksud dengan gaya Priangan adalah yang melingkupi daerah
Bandung dan sekitarnya, termasuk Priangan Timur. Daerah kaleran antara
lain daerah-daerah pesisir utara, seperti Cirebon, Subang dan Karawang.
Salah satu perbedaan yang paling jelas bila kita bandingkan dengan
daerah Priangan adalah dalam senggol, dialek dan laras-larasnya.
Mengenai hal laras, sindenan gaya Cirebon lebih banyak mempergunakan
lagu laras pelog surupan sorog dengan patet Manyuro. Perbedaannya dengan
gaya Karawangan banyak terletak pada dialek bahasa dan pada
senggol-senggol yang lebih sederhana. Perbedaan dalam senggol terkenal
dengan istilah buntut dan buntet. Priangan pada akhir lagu selalu
panjang (buntut), sedangkan rata-rata pada senggol kaleran (Subang,
Karawang) lebih pendek (buntet). Tetapi karena adanya pembauran, maka
sekarang sudah sangat sukar dibedakannya karena baik Cirebon, Karawang
maupun Subang sudah melihat Bandung sebagai barometernya. Secara
langsung mereka kehilangan kekhasannya. Sebaliknya gaya Prianganpun
banyak pula berakibat pada gaya kaleran, terutama Karawang yang lebih
banyak diwarnai dengan iringan tepak jaipongan.
Pada dasarnya lagu-lagu sinden banyak mempergunakan laras salendro.
Lagu-lagu ageng yang pertama mereka pelajari kebanyakan lagu lagu ageng
yang berlaras salendro. Mungkin hal ini disebabkan oleh beberapa
pendapat di kalangan para nayaga yang menyebutkan bahwa salendro
merupakan “rajana laras”
Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan ialah lagu-lagu sindenan
selalu diiringi dengan gamelan salendro. Walaupun dalam beberapa hal
dibawakan lagu yang tidak berlaras salendro, pirigan (iringan) tetap
menggunakan laras salendro dengan mengambil jalur tumbuk. Tumbuk ialah
nada-nada yang sama dari laras yang berbeda. Nama-nama lagu sindenan
antara lain : Macan Ucul, Senggot, Kulu Kulu Bem, Tablo, Gawil, Kawitan,
Badaya, Papalayon Ciamis dan lain sebagainya
Contoh tulisan lagu sindenan:
(2) Kawih
Salah satu lagam dari khazanah seni suara Sunda. Pengertian kawih
pada mulanya sama dengan sindenan, tetapi perkembangan memecah kedudukan
yang berbeda antara kawih dan sindenan. Perbedaan itu bukan saja
terletak pada pergelaran dan teknik-teknik bernyanyi saja, melainkan
juga lingkunganna.
Menurut pengamatan yang bersumber pada buku Siksa Kandanf Karesian
tahun 1518, masyarakat Sunda telah mengenal kawih dahulu sebelum tembang
(pupuh) masuk pada zaman Mataram (abad XVI). Cuplikan dari buku itu
mengatakan bahwa telah dikenal bermacam-macam kawih, anatara lain:
Ø Kawih Tangtung
Ø Kawih Panjang
Ø Kawih Lalangunan
Ø Kawih Bongbongkaso
Ø Kawih Parerane
Ø Kawih Sisindiran
Ø Kawih Bwatuha
Ø Kawih Babatranan
Ø Kawih Porod Eurih
Ø Kawih Sasambatan
Ø Kawih Igel-igelan
Ahli seni suara biasa disebut paraguna. Jelaslah bahwa lagam kawih
jauh telah lama hidup dalam khazanah karawitan Sunda. Masalahnya
sekarang bahwa hal yang tertera di atas hanya merupakan nama saja karena
sudah sangat jarang sekali orang-orang yang tahu tentang lagu-lagu
kawih yang disebutkan tadi.
Lagu-lagu kawih lebih banyak berorientasi pada lagu-lagu perkembangan
(kreasi baru), sedangkan pada lagu sindenan adalah lagu-lagu klasik dan
tradisional. Memang yang paling menonjol sekarang pada kawih ialah segi
perkembangan lagu-lagu barunya. Lagu-lagu itu lebih banyak bergerak
pada lingkungan pendidikan dan kaum remaja tertentu. Hal-hal yang
berhubungan dengan pendidikan, dimana lagu-lagu kawih banyak diciptakan
oleh para juru sanggi (komponis) secara khusus untuk kebutuhan program
pengajaran. Tokoh-tokoh seperti Rd. Machyar Anggakusumadinata, Mang
Koko, OK Jaman, Ujo Ngalagena, Nano. S dan lain-lain membuat buu-buku
pelajaran seni suar dalam bentuk kawih.
Kawih berkembang bukan pada bentuk anggana saja, melainkan mulai
berkembang pula pada bentuk-bentuk lain, yaitu dengan bentuk-bentuk
paduan suara.
Kawih mempunyai “sejak” yang tersendiri. Hal ini bisa kita perhatikan
dari pergelarannya, iringannya dan teknik bernyanyi termasuk didalamnya
pemanis-pemanis. Laras-laras kawih dalam lagu-lagu remaja kebanyakan
berlaras pelog dan madenda. Laras salendro terasa sangat jarang sekali.
Hal ini banyak bersumber pada kreativitas para juru sangginya yang
memang sangat jarang menciptakan lagu-lagu dalam laras salendro. Lagam
kawih yang terdapat pada tembang adalah pada lagu panambih (ekstra).
Lagu panambih adalah lagu tambahan setelah sekar irama merdeka, irama
yang dipergunakan tandak. Perbedaan yang menyolok hanya soal surupan
saja, dimana kalau tembang surupan rendah (da = G), sedangkan kalau
lagam kawih lebih tinggi surupannya (da = A = 440 Hz).
(3) Ketuk Tilu
Lagu-lagunya kebanyakan berirama tandak. Cirri khas dari lagu ketuk
tilu adalah dalam iringannya serta melodi lagu yang melengking tinggi
dengan warna suar penyanyi wanita yang lincah segar. Keunikan dari
penampilan lagu ketuk tilu banyak diwarnai pula dengan kehadiran
senggak. Ketuk tilu tanpa senggak rasanya sepi sekali. Keakraban ini
telah menjalin suatu warna yang khas yang memberikan warna kemeriahan
dan suasana pedesaan (lembur). Senggak adalah suara manusia yang tidak
beraturan untuk meramaikan suasana.
Laras-laras yang dipergunakan dalam lagu ketuk tilu kebanyakan laras
salendro. Sangat sedikit sekali yang mempergunakanlaras pelog atau
madenda. Laras salendro dipergunakan pada ketuk tilu, semarak membawa
warna pedesaan, dimana lagu-lagu rakyat banyak dihias dengan warna-warna
salendro. Lagu-lagu ketuk tilu buhun sampai kini tetap lestari, tetapi
dalam perkembangan akhir-akhir ini banyak lagu-lagu ketuk tilu yang
diubah larasnya ke dalam laras degung dan sekaligus diiringi gamelan
degung. Tentu saja dalam penjiwaannya kurang sesuai karena lingkungan
degung dan ketuk tilu jauh berbeda. Tetapi karena beberapa hal, antara
lain rumpaka, teknik menyanyikan, surupan sudah sedemikian rupa diolah
ke dalam bentuk kawih, maka tidak jarang orang menganggap seolah-olah
lagu itu merupakan ciptaan baru. Nama-nama lagu ketuk tilu yang populer
dan terkenal sampai sekarang, antara lain : Polostomo, Geboy, Gaya,
Cikeruhan, Bardin.
Penyanyi ketuk tilu mempunyai keistimewaan tersendiri, yaitu mereka
harus bisa bernyanyi sambil menari (panggilannya disebut; Ronggeng). Isi
lagu-lagu ketuk tilu banyak mengetengahkan sindiran-sindiran cinta atau
pikatan supaya “seseorang” mmberi imbalan materi. Dahulu penyanyi ketuk
tilu biasa disebut Ronggeng/Doger. Istilah ini kini jarang dipakai,
mungkin karena sebutan itu sendiri sedikit berbau/menyerempet tata
susila moral tertentu
Contoh tulisan lagu ketuk tilu
(4) Lagu Indria
Biasa pula disebut sekar dolanan atau lagu dolanan untuk anak-anak.
Secara tradisi lagu-lagu anak banyak terungkap dalam lagu-lagu kaulinan
urang lembur. Lagunya dinamis dan sangat akrab dengan gerak. Bahkan dari
keakraban itu sendiri berkembang menjadi permainan anak-anak. Pada
kesenggangan sore hari, mereka berkumpul, bernyanyi dan bermain.
Lagu-lagu yang terkenal seperti Cing cangkeling, Perepet Jengkol,
Sasalimpetan, Slep Dur dan lainnya, kebanyakan berlaras Salendro.
Pada perkembangan selanjutnya, lagu anak-anak banyak yang merupakan
sanggian-sanggian baru. Laras-laras yang dipergunakan sudah tidak lagi
dominant oleh laras salendro saja, tetapi pelog, madenda dan degungpun
masuk didalamnya. Bahkan dari jumlah buku-buku nyanyian yang pernah
diterbitkan, kebanyakan berupa lagu anak-anak, seperti: Kawih
Murangkalih, Sari Arum sanggian Rd. Machyar Anggakusumadinata, Resep
Mamaos, Taman cangkurileung, Seni suara Sunda, Sekar Mayang, Bincarung
sanggian mang Koko, Sekar Ligar kumpulan uUo Ngalagena. Tercatat khusus
untuk kegiatan lagu kawih anak-anak, Mang Koko membuat Yayasan
Cangkurileung yang anggota-anggotanya terdiri dari murid-murid sekolah
dasar dan lanjutan di seluruh Jawa Barat, setelah mang Koko meninggal
dunia kegiatan di sekolah-sekolah dasar dan lanjutan menjadi berkurang.
Beberapa cirri tertentu dari lagu anak-anak, antara lain:
A. Melodi dan Ritme yang sederhana
B. Jangkauan interval suara dan tinggi rendah nada yang terbatas
C. Tema lagu yang banyak berorientasi pada kehidupan anak-anak, seperti permainan, kebersihan, sopan santun dan lain-lain.
Khusus untuk lagu-lagu permainan Mang Koko dan MO Koesman mengolah
secara khusus dalam buku Taman Bincarung dengan laras yang dipergunakan
salendro. Dalam buku ini selain mereka belajar lagu juga diajarkan
teknik permainan yang bersumber dari tema lagu. Istilah yang dipakai
disebut Gerak Indriya Bincarung.
Selain bentuk-bentuk kawih dalam lagu anak-anak, juga lagu pupuh yang
berjumlah 17, diajarkan sebagai dasar-dasar tembang Sunda. Kebanyakan
pupuh-pupuh itu dalam bentuk rancagan, artinya tidak banyak diberi
variasi seperti halnya lagu-lagu tembang yang lain.
Contoh tulisan lagu Indriya:
(5) Lagu-Lagu Rakyat
Lagu yang telah merakyat dan populer di masyarakat. Masalahnya
sekarang akan batas kurun waktu. Umpamanya berapa tahun lagu itu bisa
digolongkan sebagai lagu rakyat. Memang diketahui bahwa kebanyakan
lagu-lagu rakyat anonim dan telah lama hidupnya. Ada pula yang diketahui
pengarangnya, diketahui populernya lagu itu dan kini telah menjelma
menjadi sebutan lagu rakyat. Dengan demikian, kurun waktu untuk
pengertian lagu-lagu rakyat bukan merupakan suatu jaminan sebab banyak
lagu-lagu yang telah lama justru hilang dan tidak diketahui oleh umum.
Kebanyakan lagu-lagu rakyat hidup di kalangan lagu anak-anak. Lagu
ini seiring dengan gerak-gerak permainan. Lagu-lagu rakyat biasanya
lebih sederhana, tidak berliku-liku dalam melodinya. Sifatnya spontan.
Gambaran lagu kalau dilihat dari tema-temany adalah permainan, kelakuan
seseorang, perjuangan dan lain-lain. Dalam beberapa hal sering didapati
bahwa kata-katanya itu tidak diketahui/dimengerti. Lagu-lagu rakyat
Sunda banyak yang tidak diketahui maksudnya. Bahkan generasi sekarang
hanya mengenal lagunya saja, tanpa mengetahui isi dari kata-katanya.
Di kota-kota besar lagu-lagu rakyat itu sudah sangat jarang diketahui
oleh anak-anak. Mungkin dalam beberapa hal mereka merasa asing.
Kalaupun ada, mereka mendengar dari hasil rekaman yang telah banyak
diolah ke dalam tangga nada diatonis. Apa yang sering dikumandangkan
oleh remaja-remaja sekarang tentang lagu rakyat pengolahannya sudah
diatonis. Dari penampilan mereka terkadang dirasakan menjadi sangat
asing, karena interpretasi mereka terhadap lagu rakyatnya sudah sangat
lain sekali. Kelainan mereka itu mungkin karena dua hal. Pertama karena
tangga nadanya sudah diatonis, kedua karena mereka hanya tahu dari mulut
ke mulut tanpa mempelajari secara khusus dengan pengertiannya
sekaligus.
Lagu-lagu rakyat yang masih populer hingga sekarang antara lain: Cing
cangkeling, Ayang-ayang gung, Pacublek-cublek uang, Ambil-ambilan,
Sorban Palid, Es Lilin, Warung Pojok dan lain sebagainya..
Kebanyakan dari lagu-lagu rakyat yang erat hubungannya dengan
gerak-gerak dan permainan, mempergunakan laras salendro, sedangkan
beberapa lagu yang sebenarnya tidak erat dengan permainan mempergunakan
laras pelog atau madenda.
Lagu-lagu rakyat akan terus berkembang selama para kreatornya terus
berkreasi. Hanya mungkin dari sekian jumlah ciptaannya paling-paling
hanya beberapa buah saja yang akan sangat populer dan merakyat di
masyarakat. Contohnya lagu Es Lilin dan Warung Pojok yang bisa menembus
untuk diakui sebagai lagu rakyat (Lagu-lagu ini diketahui penciptanya).
(6) Lagu Pupujian
Lagu berbentuk syair berisi tentang pengajaran agama Islam, nasihat,
puji kepada Allah, salawat untuk serta do’a, Lagu pupujian tanpa
menggunakan iringan sering dibawakan di masjid atau madrasah, biasa
sebelum dilaksanakan shalat, ceramah dan kegiatan lainnya. Saat ini
lagu-lagu pupujian berbahasa Sunda (Tagoni, Qasidah) telah berkembang
pesat dengan bentuk dan nama yang baru seperti “Nasyid”, penyajiaanya
tidak hanya di masjid atau madrasah, tetapi telah pula ditempat-tempat
keramaian, termasuk dalam perayaan keagamaan, khitanan, pernikahan dan
lain sebagainya. Mang Koko dengan Rumpaka dari RAF banyak membuat
lagu-lagu Pupujian ini, seperti lagu Hamdan, Ajilu, Shalawat Bani Hasim,
dsbnya.
Penyajian Sekar
Berdasarkan kepada penyajiannya, sekar dapat dibagi menjadi: Anggana
Sekar, Rampak Sekar, Layeutan Suara, Sekar Catur, Drama Suara.
3.1. Anggana Sekar
Sekar yang dibawakan oleh satu orang. Penyanyi sekar secara mandiri
ini bermacam-macam namanya; dalam Tembang disebut Juru Mamaos atau
Penembang, dalam kawih biasa disebut juga Juru Sekar/Juru Kawih, dalam
kiliningan biasa disebut Sinden, dan pada Ketuk Tilu Buhun disebut
Ronggeng. Nama-nama itu adalah nama-nama yang mandiri dan biasanya
ditujukan kepada penyanyi wanita. Penyanyi pria lebih dikenal dengan
sebutan Wira Swara.
Lagu-lagu klasik kebanyakan bersifat anggana, jarang sekali dibawakan
secara bersama, kecuali telah mendapat sentuhan kreatifitas untuk
disajikan menjadi bentuk lain. Keistimewaan lagu-lagu anggana adalah
kebebasan dalam berimprovisasi, terutama dalam pengisian
mamanis/ornament/dongkari. Makin tinggi teknik-teknik dalam pengolahan
sekar, maka makin semaraklah lagu itu. Tentu saja dalam beberapa hal
harus diperhatikan adu manisnya agar dalam mengolah lagu itu tidak
menjadi berlebihan.
3.2. Rampak Sekar
Nyanyian yang sama dalam satu tahap suara dibawakan bersama-sama.
Rampak Sekar sangat populer pada lagu-lagu Kawih. Lingkungan yang banyak
mengetengahkan lagu-lagu rampak sekar adalah para pelajar. Hal ini
sebenarnya berlanjut dari system klasikal dalam pelajaran bernyanyi di
kelas. Sebelum mengenal istilah rampak sekar (Rampak=Bersama,
Sekar=Nyanyian) terlebih dahulu dikenal istilah Panembrama. Pada
dasarnya rampak sekar maupun panembrama sama saja. Lagu yang dibawakan
satu tahap suara. Perbedaan hanya terletak pada pemilihan lagu-lagunya.
Dalam Panembrama jiwa lagunya kebanyakan mengambil lagu-lagu yang
mempunyai gerakan anca, isi rumpakanya menggambarkan kegembiraan, ucapan
selamat kepada para tamu dan maksud dari diselenggarakan pergelaran.
Lagunya antara lain Kadewan.
Dalam rampak sekar tema lagu dan sanggiannya lebih berpariasi, bisa
bernafaskan kepahlawanan, cinta tanah air, keindahan alam dan lain
sebagainya. Istilah Karatagan (Mars) sering digunakan mengawali judul
lagu untuk menggambarkan tema kepahlawanan.
Rampak Sekar kebanyakan diiringi dengan waditra Kacapi, apabila menggunakan iringan gamelan maka biasa disebut Gerongan.
Contoh tulisan lagu Rampak Sekar
3.3. Layeutan Swara
Karena pada mulanya rampak sekar itu merupakan lagu yang dibawakan
dalam satu tahap suara saja, maka perkembangan kreasi baru terasa
menuntut lain tentang pengertian ini. Apa yang dikatakan rampak sekar
sekarang sudah tidak lagi mengetengahkan satu tahap suara saja, tetapi
sudah berkembang menjadi dua tahap, tiga tahap bahkan empat tahap suara.
Untuk bentuk penyajian lagu yang demikian maka lahirlah istilah
Layeutan Suara. Istilah ini banyak dipopulerkan oleh kreasi-kreasi Mang
Koko. Layeutan Suara identik dengan istilah Paduan Suara dalam musik.
Jumlah peserta layeutan suara dapat berjumlah dari 10 orang sampai 30
orang. Jumlah itu tidak tetap, bisa dikembangkan menurut kebutuhannya.
Pada perkembangan sekarang, lagu-lagu Sunda sudah bisa diketengahkan
dalam suatu aubade, dimana jumlah penyanyinya bisa mencapai ratusan
bahkan ribuan. Untuk istilah layeutan suara, Pak Machyar
Anggakusumadinata menyebutnya dengan istilah Pra Lagam (banyak
lagamnya). Contoh:
3.4. Sekar Catur
Lagu yang dibawakan secara berdialog disebut Sekar Catur
(Sekar=nyanyian, Catur=ceritera, obrolan). Bentuk seperti ini sangat
banyak sekali. Pada lagam sindenan, lagam kawih, lagu sekar catur ini
sangat dikenal sekali. Begitu pula pada bentuk jenaka Sunda. Para kanca
Indihiang pimpinan Mang Koko pada tahun empat puluhan menjadi pelopor
dalam pengembangan bentuk lagu-lagu sekar catur.
Bentuk lagu Sekar Catur ini biasanya mempunyai tema masalah.
Masalahnya dapat diambil dari kehidupan sehari-hari, problem suami
istri, percintaan atau kritikan-kritikan terhadap kepincangan yang ada
di masyarakat. Ungkapan lagu yang dinyanyikan dalam tekniknya
mempergunakan jalur Sekar Biantara, artinya nyanyian yang dinyanyikan
dalam lagam bicara, jadi fungsi pemanis-pemanis lagu tidak terlalu
menonjol karena beberapa hal kejelasan kata-kata dalam lagu sangat
penting sekali.
Contoh tulisan lagu Sekar Catur:
3.5. Drama Suara
Ceritera yang dibawakan dengan media suara sebagai penghantarnya.
Drama Suara ini lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Gending
Karesmen. Berbeda dengan bentuk lagu sekar catur, maka dalam bentuk
drama swara sekar atau vocal secara langsung mendominasi ungkapan yang
akan diketengahkan kepada penontonnya.
Dalam drama suara, sekar mempergunakan berbagai laras. Transposisi
dan modulasi sangat kaya sekali dalam bentuk ini. Juru Sekar dituntut
kemampuan yang lebih sebagai pemain drama suara. Selain mempunyai suara
yang baik, dituntut pula kemampuan “pemeranan” (gerak, acting, menari,
menghapal naskah, dan sebagainya).
Semua bentuk sekar dapat diketengahkan dalam bentuk drama suara, baik
tembang, kawih, ketuk tilu maupun sindenan. Tetapi ada pula drama suara
yang hanya mengetengahkan salah satu bentuk sekaran saja, misalnya
drama suara dalam media tembang. Namun ada beberapa kekurangan yang
harus diperhatikan apabila drama suara hanya mengambil bentuk tembang
saja yaitu:
(1) Lagam dialog yang terlalu mementingkan mamanis, sehingga
berakibat kurang terarah pada tema ceritra atau ungkapan dialog itu
sendiri untuk diketahui maksudnya.
(2) Takaran jiwa tembang yang telah mengendap secara khusus. Dalam
hal ini sering terjadi pemerkosaan terhadap jiwa lagu dari tembang itu
sendiri karena kebutuhan dialog yang diungkapkan.
(3) Surupan yang terlalu rendah dan motif lagu yang monoton kurang
memberi suasana terhadap jalur ceritera yang diketengahkan. Hal ini akan
terasa pada nafas-nafas kemarahan yang terkadang kurang terjangkau oleh
tembang.
Drama suara yang baik sebenarnya cenderung untuk disanggi secara
khusus. Apabila akan menambahkan beberapa lagu tradisi atau bentuk sekar
lainnya, alangkah baiknya apabila jiwa lagu itu disesuaikan dengan
kata-katanya. Drama suara merupakan cirri khas dari karawitan daerah
Sunda (Jawa Barat)
Karawitan Sekar Gending
Karawitan Sekar Gending adalah salah satu bentuk kesenian yang dalam
penyajiannya terdapat unsur gabungan antara karawitan sekar dan gending
Pengertian dari karawitan itu sendiri secara khusus dapat diartikan
sebagai Seni Musik Tradisional yang terdapat di seluruh wilayah etnik
Indonesia.
Penyebaran seni karawitan terdapa di Pulau Jawa, Sumatra, Madura dan Bali. Karawitan memainkan alat musik bernama gamelan, sebagai contoh Gamelan Pelog/Salendro, Gamelan Cirebon, Gamelan Degung dan Gamelan Cianjuran
(untuk bentuk sajian ensemble/kelompok). Dalam prakteknya, karawitan
biasa digunakan untuk mengiringi tarian dan nyanyian, tapi tidak
tertutup kemungkinan untuk mengadakan pementasan musik saja.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Karawitan
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Karawitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar