Gue selalu dituntut sama orangtua gue agar bisa berdagang, alasannya
sih simpel. Agar bisa meneruskan usaha keluarga yang sedang berjalan.
Gue selalu diajari caranya berdagang dari A sampai Z. Bahkan disaat
liburan, gue selalu disuruh ke toko untuk mencoba belajar dagang.
Masalahnya, orangtua gue ini dagang baju busana muslim untuk ibu-ibu.
Ini jelas. Pelanggan yang harus gue hadapi adalah ibu-ibu. dan gue
paling enggak bisa ngomong sama ibu-ibu. Mulut gue kalah jumlah.
Saat liburan semester, gue diajak bokap pergi ke jakarta. Tepatnya ke
tanah abang. Bukan, bukan untuk jalan-jalan, melainkan untuk belanja
barang dagangan yang nantinya akan dijual kembali. Ini adalah kali kedua
bokap ngajak gue ke tanah abang. sebelumnya gue udah ngerasaain
bagaimana rasanya pergi kesana, dan kesan yang gue dapat saat pertama
kali ke tanah abang adalah: tersiksa. iya, KAKI GUE TERSIKSA!.
Sebenernya gue mau nolak ajakan bokap, tapi gue enggak tega ngelihat dia harus pergi sendiri ke jakarta.
“ikut ya pan nanti ke jakarta.” Kata bokap.
“iya yah.”
“jangan betapa terus di rumah.”
“iya.”
Gue hanya bisa pasrah dengan ajakan bokap.
Gue akan berangkat nanti malem setelah solat isya, dan berharap
perjalanan nanti akan lancar supaya nanti subuh sudah bisa sampai di
jakarta.
Semua sudah gue persiapkan mulai dari tenaga, makanan dan tidak lupa
juga pantat. Wih, ini serius. Kalau pantat gue enggak dipersiapkan
dengan baik, bisa-bisa di tengah perjalanan dia jadi kram.
Perjalanan selama delapan jam menuju jakarta pun dimulai. Kami
berangkat menggunakan mobil pribadi merek inova, mobil yang cukup nyaman
untuk dibawa bepergian jauh. Di dalam mobil gue mencoba rileks, AC
mobil pun gue atur senormal mungkin, gue paling enggak bisa lama-lama
kena AC, bisa meriang.
Satu jam pertama dalam perjalanan, gue masih merasa nyaman dengan
ditemani musik avenged sevenfold yang gue setel dalam mobil, sesekali
gue mencoba untuk mengikuti liriknya, tapi suara yang keluar dari mulut
gue malah mirip anak bayi yang nangis minta nyusu.
Mata gue mulai terasa ngantuk, beberapa kali gue tertidur lalu bangun
lagi karena kaget mendengar suara kelakson mobil atau karena mobil gue
berguncang terkena lubang jalanan.
“baru sejam perjalanan, udah KO.” Kata nyokap gue, yang dari tadi fokus menyetir.
“ngantuk ge.” Gue ngomong dengan mata merem melek.
“pokoknya setelah lulus SMA, kamu belajar nyetir,” bokap ngomong dengan
pandangan yang masih fokus ke jalan “biar bisa gantian sama ayah
nyetirnya”
“iya yah, iya.” gue menjawab semaunya.
Mata gue udah gak bisa diajak kompromi lagi, gue pun tertidur dengan nyenyaknya. Sambil sesekali bermimpi masuk siring.
Guncangan-guncangan kecil yang dari tadi gue rasain selama di
perjalanan sudah berhenti gue rasakan. Gue buka mata gue yang penuh
belek, ternyata sudah sampai di pelabuhan bakauhuni, dalam antrian untuk
memasuki kapal.
“udah sampe yah.” Kata gue, sambil mengucek mata
“udah mau pulang lagi malah.”
“HaaH.”
Emangnya gue tidur berapa lama, udah mau pulang lagi aja. Emang oke ni bokap gue kalau soal tipu menyapu.
mobil gue sudah masuk ke badan kapal, setelah terparkir dengan baik,
kami berdua keluar mobil menuju ruang istirahat. Kami mencari cari ruang
istirahat yang masih sepi, dan kami menemukan satu ruang yang begitu
menarik, kami memasuki ruangan istirahat itu, ternyata ruang
istirahatnya bergaya lesehan, jadi gue bebas tidur dengan gaya apapun.
Setelah mendapatkan tempar berbaring, bokap gue dengan nafsunya langsung
tidur untuk memulihkan tenaga. Sementare gue yang dari tadi udah puas
tidur di mobil hanya uring-uringan, sambil mendengarkan musik, mencoba
untuk menikmati perjalanan selama tiga jam di dalam kapal.
Petaka pun terjadi.
Lagi enak-enaknya gue menikmati perjalanan, tiba-tiba seorang pria tua,
item, dengan kumis yang hanya setengah, membuyarkan lamunan gue.
“kosong ya disini.” Dia sambil menunjuk ruang kosong yang ada di sebelah gue.
“iya pak, kosong.”
Tanpa nasi basi bapak itu langsung berbaring di sebelah gue. awalnya
semua berjalan baik-baik saja. Sampai akhirnya gue mulai mencium aroma
seperti kentut tikus. Gue mulai mencari-cari dari mana asal bau ini. Gue
mencium badan gue sendiri, ternyata enggak bau kentut tikus, malah
wangi kentut onta. Gue terus mencari, sampai akhirnya gue menemukan asal
bau tersebut, yang tidak lain dan tidak bukan berasal dari ketek pria
tua kumis item (disingkat pki). Dengan gagahnya ketek dia terbuka lebar
di sebelah muka gue, jelas ini membuat gue dengan mudahnya menghirup
aroma kematian ini.
Gue merasa perjalanan tiga jam menuju pelabuhan merak sama seperti lagi duduk-duduk di pasar ikan.
30 menit pertama tidur di sebelah pki membuat gue kekurangan oksigen,
30 menit kedua, gue kena radang pernafasan.
30 menit berikutnya, gue stroke.
Gue mencoba menggeser badan untuk menjauh dari tubuh busuk dia. gue
melihat dia, ternyata dia sudah tertidur nyenyak dengan mulut terbuka,
tidak sadar kalau dia sedang menyebarkan virus H1N2 (virus apaan tu) ke
semua orang. Dan gue menjadi korban pertama. Melihat mulut dia terbuka
saat tidur, membuat gue berencana untuk memasukan dinamit ke mulutnya.
karena terpaksa, gue pun tertidur untuk mengurangi beban hidup yang begitu bau.
Dua jam kemudian gue bangun
Ternyata kapalnya sudah menyandar di pelabuhan merak. Bokap gue udah
bangun duluan. Gue melihat ke arah pki, ternyata dia sudah tidak ada.
Gue seneng, akhirnya siksaan ini berakhir juga.
Gue dan bokap pun kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan
selanjutnya ke jakarta. Selama perjalanan menuju jakarta, mata gue
terjaga. Gue berusaha untuk menikmati pemandangan yang ada selama
perjalanan. Berhubung waktu itu masih jam 2 malam, jadi pemandangan yang
gue lihat pun tidak begitu jelas.
Setelah dua jam perjalanan dari merak, kami pun sampai di jakarta.
Saat itu jalanan masih sepi, tanda-tanda macet pun belum kelihatan,
karena waktu juga masih menunjukan pukul 4:37, Dimana sebagian besar
penduduk jakarta masih berusaha meraih mimpi di dalam mimpinya.
Sepuluh menit kemudian kami sampai di tamri city, tanah abang.
“alhamdulillah, nyampe juga,” suara bokep terdengar begitu lega.
Hal pertama yang kami lakukan setelah sampai di tanah abang sebelum belanja adalah solat subuh. Mantab.
Gue berdoa agar selama belanja nanti kaki gue tetep kuat. Karena
sebelumnya kaki gue sempet drop disaat pertama kali belanja disana.
Kaki gue yang biasanya hanya dipakai untuk berjalan ke kamar mandi saja,
tiba-tiba dipaksa untuk berjalan selama lebih dari 8 jam memutari tanah
abang untuk mencari barang belanjaan.
—
“yah capek nih, istirahat dulu ya.” Baru dua jam berjalan gue udah lemes.
“nanti lah, masih banyak yang harus kita beli.” kata Bokap, semangat.
Saat itu, gue udah gak kuat lagi untuk berjalan. Tapi waktu belanja yang
ditentukan bokap masih menyisakan lima jam lagi, jelas ini menyiksa
gue.
Gue paling males kalau disuruh belanja kaya gini, mendingan ikut perang sekalian di timur tengah. Kena tembak. Mati.
Dengan tenaga yang hanya tersisa setetes lagi, gue berusaha melanjutkan
perjalanan yang penuh duri ini. Sesekali gue melirik ke arah bokap,
ternyata raut muka dia tidak menunjukan kalau dia itu kelelahan, dia
begitu semangat, dan gue iri sama dia.
“Kalau memang capek, ya udah ipan tunggu disini aja.” Kata bokap sambil berhenti di depan sebuah toko yang tutup.
“iya yah.” Gue merasa lega.
“tapi jagain ya barang-barang ini.” Bokap gue menaruh barang belanjaan yang sudah terbeli.
“SIAP.”
Akhirnya kaki gue bisa istirahat juga. Gue selonjoran di atas barang
belanjaan yang begitu banyak, yang sampai-sampai bisa dipakai buat
tiduran.
Porter-porter (tukang angkut barang) yang lewat di depan gue selalu
menawarkan jasa angkut ke gue. mungkin barang-barang bawaan gue menjadi
seperti ladang duit di mata mereka. Gue merasa kalau porter-porter ini
merupakan samson di zaman modern, dengan kuatnya mereka bisa menganggkat
beban yang beratnya mungkin bisa dua kali lipat berat mereka sendiri.
Sementara gue, ngangkat 1 kg beras aja udah jatoh.
“mau di bawain mas barangnya.” Kata porter yang bernomor punggung 36 (ini porter apa pemain bola), menawarkan jasanya.
“enggak pak.” Gue nolak.
Gue mencoba santai kembali, tapi lagi-lagi porter yang lewat di hadapan
gue selalu menawarkan jasanya. Tapi gue selalu menolaknya dengan baik
dan benar.
Setelah beberapa jam, bokap gue kembali ke tempat gue istirahat, sambil membawa barang belanjaan yang begitu banyak.
“udah yah belanjanya.” Kata gue.
“udah, ayuk bawain semua ke mobil.”
Kami langsung menaiki lift menuju lantai 6 tempat mobil kami terparkir.
Setelah semua barang telah dimasukan ke mobil, gue sedikit bahagia, gue langsung masuk ke mobil.
“pan, kok malah masuk.” Bokap gue ngomong dari luar mobil.
“katanya udah selesai.” Perasaan gue mulai enggak enak.
“selesai apanya, masih banyak yang harus kita beli,” kata bokap gue
sambil membuka pintu mobil menyuruh gue keluar “ayuk keluar.”
“Haduhhh.”
Kami pun meneruskan belanjanya, dan apabiala barang di tangan kami
sudah banyak, kami langsung kembali ke mobil untuk menaruh barangnya,
dan belanja lagi. Begitu seterusnya. Setelah lebih dari enam kali bolak
balik seperti itu,akhirnya selesai juga. kaki gue kembali menangis.
Setelah mobil kami telah penuh dengan barang bawaan. Tepat jam empat
sore kami keluar dari tamrin city untuk kembali ke lampung. Ya tuhan,
cobaan ini begitu berat, tapi hamba bisa melewatinya.
Ternyata perjalanan pulang tidak semulus seperti perjalanan
berangkat, wajah asli ibukota pun mulai terlihat. Baru seratus meter
keluar dari tempat parkir, kami sudah disuguhi tradisi khas jakarta,
macet. Sebenernya di kota-kota besar lainnya macet memang sudah mulai
merajai, tapi jakarta lebih konsisten untuk hal seperti ini. Butuh waktu
jutaan tahun cahaya bagi jakarta untuk bisa mengatasi masalah yang satu
ini. Mustahil.
Selama lebih dari lima belas menit mobil kami tidak bergerak sama
sekali. Rasanya ingin sekali gue loncat dari mobil menggunakan parasut,
lalu guling-guling di jalan. Yang terdengar dari dalam mobil saat macet
seperti ini hanyalah suara klakson mobil, yang begitu merdunya. TIT TIT
TIT. Suara yang sangat akrab di telinga gue. kenapa suara klakson mobil
itu harus berbunyi TIT*T? Apakah tidak ada nada yang lebih sederhana
dibanding TIT*T.
Akhirnya sedikit demi sedikit mobil kami mulai keluar dari belenggu
kemacetan. Gue memperhatikan pemandangan dari balik jendela mobil.
Ternyata lapangan kerja di jakarta begitu luasnya, sampai-sampai di
persimpangan jalan pun bisa dijadikan tempat kerja bagi mereka. Mereka
mencoba untuk membantu mengatur lalu lintas (mereka bukan polisi) yang
ujung-ujungnya tetep aja meminta imblan.
Karena kelamaan kena macet, perut gue jadi mules, gue pengen pup.
Gue sekuat tenaga nahan siksaan baru ini. Bulu gue merinding, muka gue
jadi merah. Gue pengen ngomong ke bokap, tapi itu percuma. Pasti bokap
pun enggak tau solusi yang baik disaat seperti ini. Yang ada malah nanti
dia menyuruh gue pup dari jendela. Bokap mulai curiga dengan gerak
gerik gue yang dari tadi gelisah, dia memandang gue dengan penuh
keanehan.
“kenapa pan dari tadi gak mau diem.” Bokap gue berkata dengan muka penasaran.
“oh ini, badan ipan pegel.” Gue ngotak. Padahal gue pengen ngomong “ipan pengen berak yah udah di ujung nih.”
“yaudah tiduran di belakang aja tuh” bokap nyuruh gue pindah
“iya yah”
Di kursi belakang, gue semakin gelisah. Keringat gue bercucuran
dengan deras membasahi jidat gue. ditambah lagi keadaan macet seperti
ini membuat gue semakin panik. Kayaknya tinggal nunggu waktu aja sampai
gue ngeluarin cacing emas. Sekali ngeden, cacing emas pun keluar. Karena
merasa sudah tidak tahan lagi, gue ngentut tanpa suara. BUSHHH. Gue
berharap kalau ampasnya enggak ikutan keluar juga. Hanya dalam hitungan
detik aroma semerbak kentut gue menyebar di dalam mobil.
“emm, bau apa ini.” Bokap gue menutup hidungnya. Di kursi belakang gue hanya nyengir setan.
“ipan ngentut ya.” Bokap gue mulai menuduh.
“enggak kok yah,” gue mencari alasan yang realistis “mungkin bau dari luar kali, soalnya jendela belakang enggak ipan tutup.”
Bokap gue diem sambil menutupi hidungnya.
Gue masih nyengir setan.
Gue mulai menganalisa, mungkin lima menit lagi bokap gue akan pingsan akibat bau virus ini.
Akhirnya setelah sejam lebih, mobil kami lepas dari belenggu
kemacetan, dan perjalanan pun mulai kembali normal. Dan ini semua
menjadi lebih baik saat rasa mules yang menyiksa gue telah hilang. Satu
hal yang dapat gue pelajari, macet bisa bikit mules.
Perjalanan pulang ke lampung selama delapan jam begitu gue nikmati
sekali, pemandangan dari balik jendela mobil semakin jelas terlihat di
sore hari. Bahkan saat di dalam kapal, gue enggak bertemu lagi dengan
orang-orang aneh seperti pria kumis item (pki). Hanya ada satu hal yang
gue kangenin selama 24 jam perjalanan pergi pulang ke jakarta, yaitu:
AIR.
Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/petualangan-24-jam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar