Sabtu, 08 Maret 2014

Petualangan 24 Jam

Gue selalu dituntut sama orangtua gue agar bisa berdagang, alasannya sih simpel. Agar bisa meneruskan usaha keluarga yang sedang berjalan. Gue selalu diajari caranya berdagang dari A sampai Z. Bahkan disaat liburan, gue selalu disuruh ke toko untuk mencoba belajar dagang. Masalahnya, orangtua gue ini dagang baju busana muslim untuk ibu-ibu. Ini jelas. Pelanggan yang harus gue hadapi adalah ibu-ibu. dan gue paling enggak bisa ngomong sama ibu-ibu. Mulut gue kalah jumlah.
Saat liburan semester, gue diajak bokap pergi ke jakarta. Tepatnya ke tanah abang. Bukan, bukan untuk jalan-jalan, melainkan untuk belanja barang dagangan yang nantinya akan dijual kembali. Ini adalah kali kedua bokap ngajak gue ke tanah abang. sebelumnya gue udah ngerasaain bagaimana rasanya pergi kesana, dan kesan yang gue dapat saat pertama kali ke tanah abang adalah: tersiksa. iya, KAKI GUE TERSIKSA!.
Sebenernya gue mau nolak ajakan bokap, tapi gue enggak tega ngelihat dia harus pergi sendiri ke jakarta.
“ikut ya pan nanti ke jakarta.” Kata bokap.
“iya yah.”
“jangan betapa terus di rumah.”
“iya.”
Gue hanya bisa pasrah dengan ajakan bokap.
Gue akan berangkat nanti malem setelah solat isya, dan berharap perjalanan nanti akan lancar supaya nanti subuh sudah bisa sampai di jakarta.
Semua sudah gue persiapkan mulai dari tenaga, makanan dan tidak lupa juga pantat. Wih, ini serius. Kalau pantat gue enggak dipersiapkan dengan baik, bisa-bisa di tengah perjalanan dia jadi kram.
Perjalanan selama delapan jam menuju jakarta pun dimulai. Kami berangkat menggunakan mobil pribadi merek inova, mobil yang cukup nyaman untuk dibawa bepergian jauh. Di dalam mobil gue mencoba rileks, AC mobil pun gue atur senormal mungkin, gue paling enggak bisa lama-lama kena AC, bisa meriang.
Satu jam pertama dalam perjalanan, gue masih merasa nyaman dengan ditemani musik avenged sevenfold yang gue setel dalam mobil, sesekali gue mencoba untuk mengikuti liriknya, tapi suara yang keluar dari mulut gue malah mirip anak bayi yang nangis minta nyusu.
Mata gue mulai terasa ngantuk, beberapa kali gue tertidur lalu bangun lagi karena kaget mendengar suara kelakson mobil atau karena mobil gue berguncang terkena lubang jalanan.
“baru sejam perjalanan, udah KO.” Kata nyokap gue, yang dari tadi fokus menyetir.
“ngantuk ge.” Gue ngomong dengan mata merem melek.
“pokoknya setelah lulus SMA, kamu belajar nyetir,” bokap ngomong dengan pandangan yang masih fokus ke jalan “biar bisa gantian sama ayah nyetirnya”
“iya yah, iya.” gue menjawab semaunya.
Mata gue udah gak bisa diajak kompromi lagi, gue pun tertidur dengan nyenyaknya. Sambil sesekali bermimpi masuk siring.
Guncangan-guncangan kecil yang dari tadi gue rasain selama di perjalanan sudah berhenti gue rasakan. Gue buka mata gue yang penuh belek, ternyata sudah sampai di pelabuhan bakauhuni, dalam antrian untuk memasuki kapal.
“udah sampe yah.” Kata gue, sambil mengucek mata
“udah mau pulang lagi malah.”
“HaaH.”
Emangnya gue tidur berapa lama, udah mau pulang lagi aja. Emang oke ni bokap gue kalau soal tipu menyapu.
mobil gue sudah masuk ke badan kapal, setelah terparkir dengan baik, kami berdua keluar mobil menuju ruang istirahat. Kami mencari cari ruang istirahat yang masih sepi, dan kami menemukan satu ruang yang begitu menarik, kami memasuki ruangan istirahat itu, ternyata ruang istirahatnya bergaya lesehan, jadi gue bebas tidur dengan gaya apapun. Setelah mendapatkan tempar berbaring, bokap gue dengan nafsunya langsung tidur untuk memulihkan tenaga. Sementare gue yang dari tadi udah puas tidur di mobil hanya uring-uringan, sambil mendengarkan musik, mencoba untuk menikmati perjalanan selama tiga jam di dalam kapal.
Petaka pun terjadi.
Lagi enak-enaknya gue menikmati perjalanan, tiba-tiba seorang pria tua, item, dengan kumis yang hanya setengah, membuyarkan lamunan gue.
“kosong ya disini.” Dia sambil menunjuk ruang kosong yang ada di sebelah gue.
“iya pak, kosong.”
Tanpa nasi basi bapak itu langsung berbaring di sebelah gue. awalnya semua berjalan baik-baik saja. Sampai akhirnya gue mulai mencium aroma seperti kentut tikus. Gue mulai mencari-cari dari mana asal bau ini. Gue mencium badan gue sendiri, ternyata enggak bau kentut tikus, malah wangi kentut onta. Gue terus mencari, sampai akhirnya gue menemukan asal bau tersebut, yang tidak lain dan tidak bukan berasal dari ketek pria tua kumis item (disingkat pki). Dengan gagahnya ketek dia terbuka lebar di sebelah muka gue, jelas ini membuat gue dengan mudahnya menghirup aroma kematian ini.
Gue merasa perjalanan tiga jam menuju pelabuhan merak sama seperti lagi duduk-duduk di pasar ikan.
30 menit pertama tidur di sebelah pki membuat gue kekurangan oksigen,
30 menit kedua, gue kena radang pernafasan.
30 menit berikutnya, gue stroke.
Gue mencoba menggeser badan untuk menjauh dari tubuh busuk dia. gue melihat dia, ternyata dia sudah tertidur nyenyak dengan mulut terbuka, tidak sadar kalau dia sedang menyebarkan virus H1N2 (virus apaan tu) ke semua orang. Dan gue menjadi korban pertama. Melihat mulut dia terbuka saat tidur, membuat gue berencana untuk memasukan dinamit ke mulutnya.
karena terpaksa, gue pun tertidur untuk mengurangi beban hidup yang begitu bau.
Dua jam kemudian gue bangun
Ternyata kapalnya sudah menyandar di pelabuhan merak. Bokap gue udah bangun duluan. Gue melihat ke arah pki, ternyata dia sudah tidak ada. Gue seneng, akhirnya siksaan ini berakhir juga.
Gue dan bokap pun kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya ke jakarta. Selama perjalanan menuju jakarta, mata gue terjaga. Gue berusaha untuk menikmati pemandangan yang ada selama perjalanan. Berhubung waktu itu masih jam 2 malam, jadi pemandangan yang gue lihat pun tidak begitu jelas.
Setelah dua jam perjalanan dari merak, kami pun sampai di jakarta. Saat itu jalanan masih sepi, tanda-tanda macet pun belum kelihatan, karena waktu juga masih menunjukan pukul 4:37, Dimana sebagian besar penduduk jakarta masih berusaha meraih mimpi di dalam mimpinya.
Sepuluh menit kemudian kami sampai di tamri city, tanah abang.
“alhamdulillah, nyampe juga,” suara bokep terdengar begitu lega.
Hal pertama yang kami lakukan setelah sampai di tanah abang sebelum belanja adalah solat subuh. Mantab.
Gue berdoa agar selama belanja nanti kaki gue tetep kuat. Karena sebelumnya kaki gue sempet drop disaat pertama kali belanja disana.
Kaki gue yang biasanya hanya dipakai untuk berjalan ke kamar mandi saja, tiba-tiba dipaksa untuk berjalan selama lebih dari 8 jam memutari tanah abang untuk mencari barang belanjaan.

“yah capek nih, istirahat dulu ya.” Baru dua jam berjalan gue udah lemes.
“nanti lah, masih banyak yang harus kita beli.” kata Bokap, semangat.
Saat itu, gue udah gak kuat lagi untuk berjalan. Tapi waktu belanja yang ditentukan bokap masih menyisakan lima jam lagi, jelas ini menyiksa gue.
Gue paling males kalau disuruh belanja kaya gini, mendingan ikut perang sekalian di timur tengah. Kena tembak. Mati.
Dengan tenaga yang hanya tersisa setetes lagi, gue berusaha melanjutkan perjalanan yang penuh duri ini. Sesekali gue melirik ke arah bokap, ternyata raut muka dia tidak menunjukan kalau dia itu kelelahan, dia begitu semangat, dan gue iri sama dia.
“Kalau memang capek, ya udah ipan tunggu disini aja.” Kata bokap sambil berhenti di depan sebuah toko yang tutup.
“iya yah.” Gue merasa lega.
“tapi jagain ya barang-barang ini.” Bokap gue menaruh barang belanjaan yang sudah terbeli.
“SIAP.”
Akhirnya kaki gue bisa istirahat juga. Gue selonjoran di atas barang belanjaan yang begitu banyak, yang sampai-sampai bisa dipakai buat tiduran.
Porter-porter (tukang angkut barang) yang lewat di depan gue selalu menawarkan jasa angkut ke gue. mungkin barang-barang bawaan gue menjadi seperti ladang duit di mata mereka. Gue merasa kalau porter-porter ini merupakan samson di zaman modern, dengan kuatnya mereka bisa menganggkat beban yang beratnya mungkin bisa dua kali lipat berat mereka sendiri. Sementara gue, ngangkat 1 kg beras aja udah jatoh.
“mau di bawain mas barangnya.” Kata porter yang bernomor punggung 36 (ini porter apa pemain bola), menawarkan jasanya.
“enggak pak.” Gue nolak.
Gue mencoba santai kembali, tapi lagi-lagi porter yang lewat di hadapan gue selalu menawarkan jasanya. Tapi gue selalu menolaknya dengan baik dan benar.
Setelah beberapa jam, bokap gue kembali ke tempat gue istirahat, sambil membawa barang belanjaan yang begitu banyak.
“udah yah belanjanya.” Kata gue.
“udah, ayuk bawain semua ke mobil.”
Kami langsung menaiki lift menuju lantai 6 tempat mobil kami terparkir.
Setelah semua barang telah dimasukan ke mobil, gue sedikit bahagia, gue langsung masuk ke mobil.
“pan, kok malah masuk.” Bokap gue ngomong dari luar mobil.
“katanya udah selesai.” Perasaan gue mulai enggak enak.
“selesai apanya, masih banyak yang harus kita beli,” kata bokap gue sambil membuka pintu mobil menyuruh gue keluar “ayuk keluar.”
“Haduhhh.”
Kami pun meneruskan belanjanya, dan apabiala barang di tangan kami sudah banyak, kami langsung kembali ke mobil untuk menaruh barangnya, dan belanja lagi. Begitu seterusnya. Setelah lebih dari enam kali bolak balik seperti itu,akhirnya selesai juga. kaki gue kembali menangis. Setelah mobil kami telah penuh dengan barang bawaan. Tepat jam empat sore kami keluar dari tamrin city untuk kembali ke lampung. Ya tuhan, cobaan ini begitu berat, tapi hamba bisa melewatinya.
Ternyata perjalanan pulang tidak semulus seperti perjalanan berangkat, wajah asli ibukota pun mulai terlihat. Baru seratus meter keluar dari tempat parkir, kami sudah disuguhi tradisi khas jakarta, macet. Sebenernya di kota-kota besar lainnya macet memang sudah mulai merajai, tapi jakarta lebih konsisten untuk hal seperti ini. Butuh waktu jutaan tahun cahaya bagi jakarta untuk bisa mengatasi masalah yang satu ini. Mustahil.
Selama lebih dari lima belas menit mobil kami tidak bergerak sama sekali. Rasanya ingin sekali gue loncat dari mobil menggunakan parasut, lalu guling-guling di jalan. Yang terdengar dari dalam mobil saat macet seperti ini hanyalah suara klakson mobil, yang begitu merdunya. TIT TIT TIT. Suara yang sangat akrab di telinga gue. kenapa suara klakson mobil itu harus berbunyi TIT*T? Apakah tidak ada nada yang lebih sederhana dibanding TIT*T.
Akhirnya sedikit demi sedikit mobil kami mulai keluar dari belenggu kemacetan. Gue memperhatikan pemandangan dari balik jendela mobil. Ternyata lapangan kerja di jakarta begitu luasnya, sampai-sampai di persimpangan jalan pun bisa dijadikan tempat kerja bagi mereka. Mereka mencoba untuk membantu mengatur lalu lintas (mereka bukan polisi) yang ujung-ujungnya tetep aja meminta imblan.
Karena kelamaan kena macet, perut gue jadi mules, gue pengen pup.
Gue sekuat tenaga nahan siksaan baru ini. Bulu gue merinding, muka gue jadi merah. Gue pengen ngomong ke bokap, tapi itu percuma. Pasti bokap pun enggak tau solusi yang baik disaat seperti ini. Yang ada malah nanti dia menyuruh gue pup dari jendela. Bokap mulai curiga dengan gerak gerik gue yang dari tadi gelisah, dia memandang gue dengan penuh keanehan.
“kenapa pan dari tadi gak mau diem.” Bokap gue berkata dengan muka penasaran.
“oh ini, badan ipan pegel.” Gue ngotak. Padahal gue pengen ngomong “ipan pengen berak yah udah di ujung nih.”
“yaudah tiduran di belakang aja tuh” bokap nyuruh gue pindah
“iya yah”
Di kursi belakang, gue semakin gelisah. Keringat gue bercucuran dengan deras membasahi jidat gue. ditambah lagi keadaan macet seperti ini membuat gue semakin panik. Kayaknya tinggal nunggu waktu aja sampai gue ngeluarin cacing emas. Sekali ngeden, cacing emas pun keluar. Karena merasa sudah tidak tahan lagi, gue ngentut tanpa suara. BUSHHH. Gue berharap kalau ampasnya enggak ikutan keluar juga. Hanya dalam hitungan detik aroma semerbak kentut gue menyebar di dalam mobil.
“emm, bau apa ini.” Bokap gue menutup hidungnya. Di kursi belakang gue hanya nyengir setan.
“ipan ngentut ya.” Bokap gue mulai menuduh.
“enggak kok yah,” gue mencari alasan yang realistis “mungkin bau dari luar kali, soalnya jendela belakang enggak ipan tutup.”
Bokap gue diem sambil menutupi hidungnya.
Gue masih nyengir setan.
Gue mulai menganalisa, mungkin lima menit lagi bokap gue akan pingsan akibat bau virus ini.
Akhirnya setelah sejam lebih, mobil kami lepas dari belenggu kemacetan, dan perjalanan pun mulai kembali normal. Dan ini semua menjadi lebih baik saat rasa mules yang menyiksa gue telah hilang. Satu hal yang dapat gue pelajari, macet bisa bikit mules.
Perjalanan pulang ke lampung selama delapan jam begitu gue nikmati sekali, pemandangan dari balik jendela mobil semakin jelas terlihat di sore hari. Bahkan saat di dalam kapal, gue enggak bertemu lagi dengan orang-orang aneh seperti pria kumis item (pki). Hanya ada satu hal yang gue kangenin selama 24 jam perjalanan pergi pulang ke jakarta, yaitu: AIR.

Sumber :  http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/petualangan-24-jam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar